Manusia berkomunikasi tidak hanya dengan
kata-kata saja. Nada suaranya, ekspresi wajahnya, gerak-geriknya, semua itu mengandung
makna yang perlu diperhitungkan. Jadi, tidak hanya bahasa yang dapat membingungkan
tetapi juga gerak-gerik dan isyarat kultural. Anggukan seseorang bisa berarti
negative bagi orang lain.
Disini berarti nada suara juga berpengaruh terhadap
komunikator ketika berkomunikasi dengan komunikannya. Suatu kesalahpahaman sangat
sering terjadi ketika berkomunikasi berlangsung dengan etnik yang berbeda.
Intonasi suara ialah isyarat yang ditimbulkan dari tekanan atau
irama suara sehingga penerima dapat memahami sesuatu dibalik apa yang
diucapkan. Parabahasa atau vocalika merujuk pada aspek-aspek suara selain ucapan
yang dapat dipahami, misalnya kecepatan berbicara, nada (tinggi atau rendah),
intensitas (volume) suara, intonasi, kualitas vocal (kejelasan), warna suara, dialek,
suara serak, suara sengau, suara terputus-putus, suara gemetar, suitan, siulan,
tawa, tangis, gerutuan, bergumam, desahan dan sebagainya. Setiap karakteristik suara
ini mengkomunikasikan emosi dan pikiran seseorang.
Istilah paralanguange menunjuk pada unsur-unsur
nonverbal suara dalam percakapan verbal. Paralanguange ini meliputi karakter vokal,
seperti bicara yang disertai senyum atau sedu sedan, sifat vokal, seperti keras-pelan
atau tinggi-rendah dan segregasi vocal. Seseorang yang sedang sedih terlihat dari cara
bicaranya yang berbicara dengan sedu-sedan, orang yang sedang gembira terlihat
saat Dia berbicara sambil tersenyum, orang yang marah tentu bicara dengan keras dan bernada tinggi.
Suara
juga menunjukkan pesan nonverbal didalamnya, apa saja pesan nonverbal yang
dapat ditangkap dari suara yang terdengar, yaitu:
·
Suara berirama, menunjukkan kehangatan, membosankan, antusias, monoton, ekspresif.
·
Nada suara tinggi atau rendah, mengakhiri percakapan,.
·
Penekanan suara, berlebihan, emosi, kelembutan.
·
Volume,
emosi dan penekanan.
·
Tempo,
kelembutan dan kesabaran.
·
Kontra,
perbedaan makana.
·
Aksen
menunjukkan siapa yang berbicara.
Suara yang terengah-engah menandakan kelemahan, sedangkan
ucapan yang terlalu cepat menandakan ketegangan, kemarahan atau ketakutan.
Riset menunjukkan bahwa pendengar mempersepsi kepribadian komunikator lewat
suara. Tidak berarti bahwa persepsi mereka akurat, alih-alih mereka memperoleh
persepsi tersebut berdasarkan stereotip yang telah mereka kembangkan. Mehrabian
dan Ferris menyebutkan bahwa, parabahasa adalah terpenting kedua setelah
ekspresi wajah dalam menyampaikan perasaan atau emosi.
Tekanan
suara (paralanguange) dapat memberikan makna yang berlainan tergantung pada
bagaimana cara mengucapkannya dengan suara keras, datar, pilu, atau lembut.
Jika seseorang berkomunikasi dengan suara yang keras, bisa jadi mereka sedang
tersesat di hutan, karena tersesat, dengan jarak yang memungkinkanmereka masih
saling mendengar rekannya. Jika suara mereka parau dan pelan, bisa jadi mereka
sedang kesulitan dan saling memanggil untuk memintapertolongan.
Paralanguange
meliputi empat aspek yaitu pola titinada, volume, kecepatan dan kualitas. Pola
titinada atau yang disebut pithmerupakan tinggi atau rendahnya nada vokal.
Orang menaikkan atau menurunkan pola titinada vokal dan mengubah suara untuk
mempertegas gagasan, menunjukkan pertanyaan dan memperlihatkan kegugupan. Volume
merupkan keras lembutnya nada. Kecepatan (rate) mengacu kecepatan pada saat
orang berbicara. Orang cenderung
berbicara lebih cepat, apabila sedang bahagia, terkejut, gugup atau sedang
gembira. Berbicara lebih lambat apabila mereka sedang memikirkan jalan keluar
penyelesaian atau mencoba menegaskan pendiriannya. Sementara kualitas merupakan
bunyi dari suara seseorang.
Beberapa contoh sederhana tersebut menjelaskan bahwa
kata-kata sebenarnya dapat bermakna lain bila diucapkan dengan cara yang
berbeda tergantung persepsi masing-masing orang. Variasi suara sebagai aspek
parabahasa juga dapat dianggap mengandung maksud tertentu. Akan tetpi
persoalannya, adalah bahwa setiap budaya, suku, subkultural memaknai aspek-aspek
parabahasa secara berbeda.
Tingkat
kerasnya suatu atau volume sering kali merupakan bagian dari gaya komunikasi suatu
kebudayaan. Demikian juga dialek atau pola intonasi bahasa dapat menunjukkan karakteristik
dari penduduk suatu daerah atau negara. Dalam Komunikasi Antar Budaya tidak sedikit
terdapat kecenderungan untuk mengolok-olok pola-pola intonasi yang asing atau aneh.
Bahkan sering terjadi bahwa dialek dapat menentukan sikap terhadap orang lain.
Biasanya dialek yang lain dari apa yang dianggap sudah standar atau baku, akan memperoleh
penilaian yang kurang.
Budaya merupakan salah satu aspek yang membuat perbedaan
penekanan suara, tak heran setiap budaya memiliki ciri khas sendiri dalam
penekanan suara mereka. Misalnya orang jawa yang lemah lembut walaupun sedang
marah sekalipun, hal ini bisa jadi disebabkan dari zaman penjajahan dulu mereka
selalu diajarkan tata krama kerajaan yang membuat mereka harus lemah lembut,
mereka pun tidak secara gamblang melawan penjajah dengan kekuatan seperti
halnya masyarakat lainnya, mereka cenderung bermain dipolitik dan lebih ke
berfikir dibandingkan harus menggunakan otot.
Setiap individu harus bisa membedakan suara keras sebagai
marah dan suara keras sebagai ciri budaya. Hal ini dapat dilihat dari orang
Batak dan orang Aceh. Orang batak cenderung berkomunikasi dengan suara yang
keras walaupun mereka sedang bahagia. Sebenarnya mereka tidak bermaksud
untuk berbicara kasar. Hal tersebut
lumrah bagi orang Batak, mereka beranggapan bahwa kekerasan suara mereka
merupakan warisan budaya dari nenek moyang. Konon, dulu orang-orang Batak
tinggal diladang, juga dipegunungan, dalam rumah-rumah yang berjauhan, sehingga
mereka harus berteriak kalau berbicara, agar dapat didengar oleh anggota lain
keluarga atau tetangga mereka. Hal ini terus berlangsung sampai saat ini.
Begitu pula
halnya dengan orang Aceh, walaupun tidak sekeras tekanan suara orang Batak.
Pada masyarakat Aceh tekanan suara atau intonasi suara dapat disebabkan oleh
kondisi dan keadaan masyarakat Aceh tersebut. Seperti halnya orang Batak yang
hidup berladang dipegunungan, masyarakat Aceh pun sebagian besar juga bercocok
tanam didataran tinggi. Bedanya jika masyarakat Batak cenderung bersuara tinggi
di daerah dataran tinggi, masyarakat Aceh cenderung bersuara hlus dikarenakan
faktor cuaca yang dingin, juga ladang mereka yang berdekatan jaraknya.
Selain itu kebanyakan masyarakat Aceh juga berprofesi
sebagai nelayan yang sering berjuang di tengah laut untuk mencari nafkah. Mereka
berkomunikasi ditengah laut dengan suara yang keras agar didengar oleh
rekannya, karena jika mereka tidak berkomunikasi dengan suara yang keras,
rekannya tidak akan paham apa yang dibicarakan, disebabkan oleh kerasnya suara
pecahan ombak yang menghantam kapal dan suara ombak yang ada dilaut. Itulah
salah satu sebab mengapa masyarakat Aceh dalam berkomunikasi dengan tekanan
suara yang keras.
Pada
zaman penjajahan pun, masyarakat Aceh cenderung gagah berani melawan penjajah,
mereka lebih bersemangat melawan penjajah dengan kekuatan fisik dari pada harus
bertele-tele dengan politik yang sangat lambat. Pada saat berperang dengan
penjajah otomatis masing-masing individu harus berteriak untuk berkomunikasi
dengan teman maupun lawannya. Biasanya sang pemimpin sebelum perang sering
mengucapkan kata-kata semangat dengan suara lantang untuk memotivasi para
prajurit nya agar mereka dapat memenangkan peperangan. Hal tersebut juga
menjadi salah satu alasan orang Aceh memiliki tekanan suara yang keras saat
berkomunikasi.
Dalam
Islam tekanan suara merupakan hal yang tidak baik, dikarenakan Islam
mengajarkan bahwa dalam berkomunikasi haruslah dengan sopan santun dan lemah lembut
sehingga tidak menyakiti orang lain. Dalam berbagai
literature tentang komunikasi Islam dapat ditemukan setidaknya enam jenis gaya bicara
atau pembicaraan yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi
Islam, yaitu Qaulan Sadida (perkataan yang benar, jujur), Qaulan Baligha (tepat
sasaran, komunikatif, to the point, mudah dimengerti), Qaulan Ma’rufa (perkataan yang baik),
Qaulan Karima (perkataan yang mulia), Qaulan Layyinan (perkataan yang lembut),
dan Qaulan Maysura (perkataan yang ringan). Paralanguange termasuk kedalam qaulan
karima dan qaulan layyinan, penjelasannya seperti yang dibawah ini sesuai dengan
firman Allah swt.
QS.
Al Isra’ ayat 23 :
وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا
إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ
أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ
لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا
Artinya
:
“Dan
Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah
berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya
sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan engkau membentak keduanya dan ucapkanlah
kepada keduanya perktaan yang baik”.
Dari
ayat tersebut jelas bahwa setiap manusia diperintahkan untuk mengucapkan perkataan
yang baik atau mulia karena perkataan yang baik dan benar adalah suatu komunikasi
yang menyeru kepada kebaikan dan merupakan bentuk komunikasi yang menyenangkan.
Paralanguistik juga termasuk kedalam klarifikasi non verbal, bagaimana nada saat
berbicara, tinggi rendahnya suara, volume, nada nada, termasuk juga perkataan
ah, mm, dll. Itu juga tergolong kedalam paralanguistik. Dalam islam seorang anak
dilarang untuk mengucapkan perkataan ah kepada kedua orang tuanya.
QS.
Thaha ayat 43-44 :
اذْهَبَا
إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
فَقُولا
لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Artinya :
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun karena benar-benar dia telah
melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang
lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut”.
Dari ayat tersebut maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa Qaulan Layina berarti pembicaraan yang
lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat
menyentuh hati maksudnya tidak mengeraskan suara, seperti membentak,
meninggikan suara. Siapapun tidak suka bila berbicara
dengan orang-orang yang kasar. Rasullulah selalu bertutur kata dengan lemah
lembut, hingga setiap kata yang beliau ucapkan sangat menyentuh hati siapapun
yang mendengarnya. Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang
dimaksud layina ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata
kata terus terang atau lugas, apalagi kasar. Seperti yang sudah dijelaskan
bahwa islam menganjurkan berkomunikasi dengan lemah lembut dan tidak menyakiti
lawan bicaranya.
Komentar
Posting Komentar