CARA MASYARAKAT ISLAM ACEH MEMANDANG PARALANGUAGE (INTONASI SUARA)





            Manusia berkomunikasi tidak hanya dengan kata-kata saja. Nada suaranya, ekspresi wajahnya, gerak-geriknya, semua itu mengandung makna yang perlu diperhitungkan. Jadi, tidak hanya bahasa yang dapat membingungkan tetapi juga gerak-gerik dan isyarat kultural. Anggukan seseorang bisa berarti negative bagi orang lain.

 Disini berarti nada suara juga berpengaruh terhadap komunikator ketika berkomunikasi dengan komunikannya. Suatu kesalahpahaman sangat sering terjadi ketika berkomunikasi berlangsung dengan etnik yang berbeda.

            Intonasi suara  ialah isyarat yang ditimbulkan dari tekanan atau irama suara sehingga penerima dapat memahami sesuatu dibalik apa yang diucapkan. Parabahasa atau vocalika merujuk pada aspek-aspek suara selain ucapan yang dapat dipahami, misalnya kecepatan berbicara, nada (tinggi atau rendah), intensitas (volume) suara, intonasi, kualitas vocal (kejelasan), warna suara, dialek, suara serak, suara sengau, suara terputus-putus, suara gemetar, suitan, siulan, tawa, tangis, gerutuan, bergumam, desahan dan sebagainya. Setiap karakteristik suara ini mengkomunikasikan emosi dan pikiran seseorang.

            Istilah paralanguange menunjuk pada unsur-unsur nonverbal suara dalam percakapan verbal. Paralanguange ini meliputi karakter vokal, seperti bicara yang disertai senyum atau sedu sedan, sifat vokal, seperti keras-pelan atau tinggi-rendah dan segregasi vocal. Seseorang yang sedang sedih terlihat dari cara bicaranya yang berbicara dengan sedu-sedan, orang yang sedang gembira terlihat saat Dia berbicara sambil tersenyum, orang yang marah tentu bicara dengan keras dan bernada tinggi.

            Suara juga menunjukkan pesan nonverbal didalamnya, apa saja pesan nonverbal yang dapat ditangkap dari suara yang terdengar, yaitu:
·         Suara berirama, menunjukkan kehangatan, membosankan, antusias, monoton, ekspresif.
·         Nada suara tinggi atau rendah, mengakhiri percakapan,.
·         Penekanan suara, berlebihan, emosi, kelembutan.
·         Volume, emosi dan penekanan.
·         Tempo, kelembutan dan kesabaran.
·         Kontra, perbedaan makana.
·         Aksen menunjukkan siapa yang berbicara.

Suara yang terengah-engah menandakan kelemahan, sedangkan ucapan yang terlalu cepat menandakan ketegangan, kemarahan atau ketakutan. Riset menunjukkan bahwa pendengar mempersepsi kepribadian komunikator lewat suara. Tidak berarti bahwa persepsi mereka akurat, alih-alih mereka memperoleh persepsi tersebut berdasarkan stereotip yang telah mereka kembangkan. Mehrabian dan Ferris menyebutkan bahwa, parabahasa adalah terpenting kedua setelah ekspresi wajah dalam menyampaikan perasaan atau emosi.

            Tekanan suara (paralanguange) dapat memberikan makna yang berlainan tergantung pada bagaimana cara mengucapkannya dengan suara keras, datar, pilu, atau lembut. Jika seseorang berkomunikasi dengan suara yang keras, bisa jadi mereka sedang tersesat di hutan, karena tersesat, dengan jarak yang memungkinkanmereka masih saling mendengar rekannya. Jika suara mereka parau dan pelan, bisa jadi mereka sedang kesulitan dan saling memanggil untuk memintapertolongan.

            Paralanguange meliputi empat aspek yaitu pola titinada, volume, kecepatan dan kualitas. Pola titinada atau yang disebut pithmerupakan tinggi atau rendahnya nada vokal. Orang menaikkan atau menurunkan pola titinada vokal dan mengubah suara untuk mempertegas gagasan, menunjukkan pertanyaan dan memperlihatkan kegugupan. Volume merupkan keras lembutnya nada. Kecepatan (rate) mengacu kecepatan pada saat orang  berbicara. Orang cenderung berbicara lebih cepat, apabila sedang bahagia, terkejut, gugup atau sedang gembira. Berbicara lebih lambat apabila mereka sedang memikirkan jalan keluar penyelesaian atau mencoba menegaskan pendiriannya. Sementara kualitas merupakan bunyi dari suara seseorang.

Beberapa contoh sederhana tersebut menjelaskan bahwa kata-kata sebenarnya dapat bermakna lain bila diucapkan dengan cara yang berbeda tergantung persepsi masing-masing orang. Variasi suara sebagai aspek parabahasa juga dapat dianggap mengandung maksud tertentu. Akan tetpi persoalannya, adalah bahwa setiap budaya, suku, subkultural memaknai aspek-aspek parabahasa secara berbeda.

            Tingkat kerasnya suatu atau volume sering kali merupakan bagian dari gaya komunikasi suatu kebudayaan. Demikian juga dialek atau pola intonasi bahasa dapat menunjukkan karakteristik dari penduduk suatu daerah atau negara. Dalam Komunikasi Antar Budaya tidak sedikit terdapat kecenderungan untuk mengolok-olok pola-pola intonasi yang asing atau aneh. Bahkan sering terjadi bahwa dialek dapat menentukan sikap terhadap orang lain. Biasanya dialek yang lain dari apa yang dianggap sudah standar atau baku, akan memperoleh penilaian yang kurang.

Budaya merupakan salah satu aspek yang membuat perbedaan penekanan suara, tak heran setiap budaya memiliki ciri khas sendiri dalam penekanan suara mereka. Misalnya orang jawa yang lemah lembut walaupun sedang marah sekalipun, hal ini bisa jadi disebabkan dari zaman penjajahan dulu mereka selalu diajarkan tata krama kerajaan yang membuat mereka harus lemah lembut, mereka pun tidak secara gamblang melawan penjajah dengan kekuatan seperti halnya masyarakat lainnya, mereka cenderung bermain dipolitik dan lebih ke berfikir dibandingkan harus menggunakan otot.    

Setiap individu harus bisa membedakan suara keras sebagai marah dan suara keras sebagai ciri budaya. Hal ini dapat dilihat dari orang Batak dan orang Aceh. Orang batak cenderung berkomunikasi dengan suara yang keras walaupun mereka sedang bahagia. Sebenarnya mereka tidak bermaksud untuk berbicara kasar. Hal tersebut lumrah bagi orang Batak, mereka beranggapan bahwa kekerasan suara mereka merupakan warisan budaya dari nenek moyang. Konon, dulu orang-orang Batak tinggal diladang, juga dipegunungan, dalam rumah-rumah yang berjauhan, sehingga mereka harus berteriak kalau berbicara, agar dapat didengar oleh anggota lain keluarga atau tetangga mereka. Hal ini terus berlangsung sampai saat ini.

            Begitu pula halnya dengan orang Aceh, walaupun tidak sekeras tekanan suara orang Batak. Pada masyarakat Aceh tekanan suara atau intonasi suara dapat disebabkan oleh kondisi dan keadaan masyarakat Aceh tersebut. Seperti halnya orang Batak yang hidup berladang dipegunungan, masyarakat Aceh pun sebagian besar juga bercocok tanam didataran tinggi. Bedanya jika masyarakat Batak cenderung bersuara tinggi di daerah dataran tinggi, masyarakat Aceh cenderung bersuara hlus dikarenakan faktor cuaca yang dingin, juga ladang mereka yang berdekatan jaraknya.

Selain itu kebanyakan masyarakat Aceh juga berprofesi sebagai nelayan yang sering berjuang di tengah laut untuk mencari nafkah. Mereka berkomunikasi ditengah laut dengan suara yang keras agar didengar oleh rekannya, karena jika mereka tidak berkomunikasi dengan suara yang keras, rekannya tidak akan paham apa yang dibicarakan, disebabkan oleh kerasnya suara pecahan ombak yang menghantam kapal dan suara ombak yang ada dilaut. Itulah salah satu sebab mengapa masyarakat Aceh dalam berkomunikasi dengan tekanan suara yang keras.

            Pada zaman penjajahan pun, masyarakat Aceh cenderung gagah berani melawan penjajah, mereka lebih bersemangat melawan penjajah dengan kekuatan fisik dari pada harus bertele-tele dengan politik yang sangat lambat. Pada saat berperang dengan penjajah otomatis masing-masing individu harus berteriak untuk berkomunikasi dengan teman maupun lawannya. Biasanya sang pemimpin sebelum perang sering mengucapkan kata-kata semangat dengan suara lantang untuk memotivasi para prajurit nya agar mereka dapat memenangkan peperangan. Hal tersebut juga menjadi salah satu alasan orang Aceh memiliki tekanan suara yang keras saat berkomunikasi.

            Dalam Islam tekanan suara merupakan hal yang tidak baik, dikarenakan Islam mengajarkan bahwa dalam berkomunikasi haruslah dengan sopan santun dan lemah lembut sehingga tidak menyakiti orang lain. Dalam berbagai literature tentang komunikasi Islam dapat ditemukan setidaknya enam jenis gaya bicara atau pembicaraan yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam, yaitu Qaulan Sadida (perkataan yang benar, jujur), Qaulan Baligha (tepat sasaran, komunikatif, to the point, mudah dimengerti),  Qaulan Ma’rufa (perkataan yang baik), Qaulan Karima (perkataan yang mulia), Qaulan Layyinan (perkataan yang lembut), dan Qaulan Maysura (perkataan yang ringan). Paralanguange termasuk kedalam qaulan karima dan qaulan layyinan, penjelasannya seperti yang dibawah ini sesuai dengan firman Allah swt.
QS. Al Isra’ ayat 23 :
وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا
Artinya :
Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan engkau membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perktaan yang baik”.
Dari ayat tersebut jelas bahwa setiap manusia diperintahkan untuk mengucapkan perkataan yang baik atau mulia karena perkataan yang baik dan benar adalah suatu komunikasi yang menyeru kepada kebaikan dan merupakan bentuk komunikasi yang menyenangkan. Paralanguistik juga termasuk kedalam klarifikasi non verbal, bagaimana nada saat berbicara, tinggi rendahnya suara, volume, nada nada, termasuk juga perkataan ah, mm, dll. Itu juga tergolong kedalam paralanguistik. Dalam islam seorang anak dilarang untuk mengucapkan perkataan ah kepada kedua orang tuanya.
QS. Thaha ayat 43-44 :
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Artinya :
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun karena benar-benar dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut”.

Dari ayat tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Qaulan Layina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati maksudnya tidak mengeraskan suara, seperti membentak, meninggikan suara. Siapapun tidak suka bila berbicara dengan orang-orang yang kasar. Rasullulah selalu bertutur kata dengan lemah lembut, hingga setiap kata yang beliau ucapkan sangat menyentuh hati siapapun yang mendengarnya. Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layina ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata kata terus terang atau lugas, apalagi kasar. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa islam menganjurkan berkomunikasi dengan lemah lembut dan tidak menyakiti lawan bicaranya.






Komentar